Info Kota Bukittinggi
di sunting Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kota Bukittinggi adalah
kota terbesar kedua di Provinsi
Sumatera Barat,
Indonesia.
[2] Kota ini pernah menjadi
ibu kota Indonesia pada masa
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia.
[3] Kota ini juga pernah menjadi ibu kota Provinsi Sumatera dan Provinsi
Sumatera Tengah.
[4]
Bukittinggi pada zaman kolonial Belanda disebut dengan
Fort de Kock dan dahulunya dijuluki sebagai
Parijs van Sumatra selain
Kota Medan.
[5] Kota ini merupakan tempat kelahiran beberapa tokoh pendiri Republik Indonesia, di antaranya adalah
Mohammad Hatta dan
Assaat yang masing-masing merupakan proklamator dan
pejabat presiden Republik Indonesia.
Selain sebagai kota perjuangan, Bukittinggi juga terkenal sebagai kota wisata yang berhawa sejuk, dan bersaudara (
sister city) dengan
Seremban di
Negeri Sembilan,
Malaysia. Seluruh wilayah kota ini berbatasan langsung dengan
Kabupaten Agam. Tempat wisata yang ramai dikunjungi adalah
Jam Gadang, yaitu sebuah
menara jam yang terletak di jantung kota sekaligus menjadi simbol bagi kota yang berada di tepi
Ngarai Sianok.
Sejarah
Kota Bukittinggi semula merupakan pasar (pekan) bagi masyarakat Agam Tuo. Kemudian setelah kedatangan
Belanda, kota ini menjadi kubu pertahanan mereka untuk melawan
Kaum Padri.
[6]
Pada tahun 1825, Belanda mendirikan benteng di salah satu bukit yang
terdapat di dalam kota ini. Tempat ini dikenal sebagai benteng
Fort de Kock, sekaligus menjadi tempat peristirahatan opsir-opsir Belanda yang berada di wilayah jajahannya. Pada masa pemerintahan
Hindia-Belanda, kawasan ini selalu ditingkatkan perannya dalam ketatanegaraan yang kemudian berkembang menjadi sebuah
stadsgemeente (kota),
[7] dan juga berfungsi sebagai ibu kota
Afdeeling Padangsche Bovenlanden dan
Onderafdeeling Oud Agam.
[8]
Pada masa pendudukan
Jepang, Bukittinggi dijadikan sebagai pusat pengendalian pemerintahan militernya untuk kawasan
Sumatera, bahkan sampai ke
Singapura dan
Thailand. Kota ini menjadi tempat kedudukan komandan militer ke-25 Kempetai, di bawah pimpinan Mayor Jenderal Hirano Toyoji.
[9] Kemudian kota ini berganti nama dari
Stadsgemeente Fort de Kock menjadi
Bukittinggi Si Yaku Sho yang daerahnya diperluas dengan memasukkan nagari-nagari sekitarnya seperti
Sianok Anam Suku,
Gadut,
Kapau,
Ampang Gadang,
Batu Taba, dan
Bukit Batabuah. Sekarang nagari-nagari tersebut masuk ke dalam wilayah
Kabupaten Agam.
Setelah
kemerdekaan Indonesia, Bukittinggi ditetapkan sebagai Ibu Kota Provinsi Sumatera, dengan
gubernurnya Mr. Teuku Muhammad Hasan.
[10]
Kemudian Bukittinggi juga ditetapkan sebagai wilayah pemerintahan kota
berdasarkan Ketetapan Gubernur Provinsi Sumatera Nomor 391 tanggal 9
Juni 1947.
Pada masa mempertahankan kemerdekaan Indonesia, Kota Bukitinggi berperan sebagai kota perjuangan, ketika pada tanggal
19 Desember 1948 kota ini ditunjuk sebagai Ibu Kota Negara
Indonesia setelah
Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda atau dikenal dengan
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (
PDRI). Di kemudian hari, peristiwa ini ditetapkan sebagai
Hari Bela Negara, berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia tanggal 18 Desember 2006.
[11][12]
Selanjutnya Kota Bukittinggi menjadi
kota besar berdasarkan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1956 tentang pembentukan daerah otonom kota besar dalam lingkungan daerah Provinsi
Sumatera Tengah masa itu,
[13] yang meliputi wilayah Provinsi
Sumatera Barat,
Jambi,
Riau, dan
Kepulauan Riau sekarang.
Dalam rangka perluasan wilayah kota, pada tahun 1999 pemerintah
menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 1999 yang isinya
menggabungkan nagari-nagari di sekitar Bukittinggi ke dalam wilayah
kota. Nagari-nagari tersebut yaitu
Cingkariang,
Gaduik,
Sianok Anam Suku,
Guguak Tabek Sarojo,
Ampang Gadang,
Ladang Laweh,
Pakan Sinayan,
Kubang Putiah,
Pasia,
Kapau,
Batu Taba, dan
Koto Gadang.
[14]
Namun, sebagian masyarakat di nagari-nagari tersebut menolak untuk
bergabung dengan Bukittinggi sehingga, peraturan tersebut hingga saat
ini belum dapat dilaksanakan.
[15]
Geografi
Kota Bukittinggi terletak pada rangkaian
Bukit Barisan yang membujur sepanjang pulau
Sumatera, dan dikelilingi oleh dua gunung berapi yaitu
Gunung Singgalang dan
Gunung Marapi.
Kota ini berada pada ketinggian 909–941 meter di atas permukaan laut,
dan memiliki hawa cukup sejuk dengan suhu berkisar antara 16.1–24.9 °C.
Sementara itu, dari total luas wilayah Kota Bukittinggi saat ini (25,24
km²), 82,8% telah diperuntukkan menjadi lahan budidaya, sedangkan
sisanya merupakan hutan lindung.
Kota ini memiliki topografi berbukit-bukit dan berlembah, beberapa
bukit tersebut tersebar dalam wilayah perkotaan, di antaranya Bukit
Ambacang, Bukit Tambun Tulang, Bukit Mandiangin, Bukit Campago, Bukit
Kubangankabau, Bukit Pinang Nan Sabatang, Bukit Canggang, Bukit
Paninjauan, dan sebagainya. Selain itu, terdapat lembah yang dikenal
dengan
Ngarai Sianok dengan kedalaman yang bervariasi antara 75–110 m, yang di dasarnya mengalir sebuah sungai yang disebut dengan Batang Masang.
Kependudukan
Ruas Jalan Sudirman yang asri
Perkembangan penduduk Bukittinggi tidak terlepas dari berubahnya
peran kota ini menjadi pusat perdagangan di dataran tinggi Minangkabau.
Hal ini ditandai dengan dibangunnya pasar oleh pemerintah Hindia-Belanda
pada tahun 1890 dengan nama
loods. Masyarakat setempat mengejanya dengan
loih, dengan atap melengkung kemudian dikenal dengan nama
Loih Galuang.
Saat ini Bukittingi merupakan kota terpadat di Provinsi Sumatera
Barat, dengan tingkat kepadatan mencapai 4.400 jiwa/km². Jumlah angkatan
kerja sebanyak 52.631 orang dan sekitar 3.845 orang di antaranya
merupakan pengangguran.
[16] Kota ini didominasi oleh etnis
Minangkabau, namun terdapat juga etnis
Tionghoa,
Jawa,
Tamil, dan
Batak.
Masyarakat Tionghoa datang bersamaan dengan munculnya pasar-pasar di
Bukittinggi. Mereka diizinkan pemerintah Hindia-Belanda membangun
toko/kios pada kaki bukit Benteng Fort de Kock, yang terletak di bagian
barat kota, membujur dari selatan ke utara, dan saat ini dikenal dengan
nama
Kampung Cino. Sementara pedagang India ditempatkan di kaki
bukit sebelah utara, melingkar dari arah timur ke barat dan sekarang
disebut juga
Kampung Keling.
Pariwisata
Industri pariwisata merupakan salah satu sektor andalan Kota
Bukittinggi. Banyaknya objek wisata yang menarik, menjadikan kota ini
dijuluki sebagai "kota wisata". Pada tahun 2012, jumlah wisatawan
mancanegara yang mengunjungi kota ini mencapai 26.629 orang.
[34] Saat ini di Bukittinggi terdapat sekitar 60 hotel dan 15 biro perjalanan.
[35] Hotel-hotel yang terdapat di Bukittinggi antara lain The Hills, Hotel Pusako, dan Grand Rocky Hotel.
Ngarai Sianok
merupakan salah satu objek wisata utama. Taman Panorama yang terletak
di dalam kota Bukittinggi memungkinkan wisatawan untuk melihat keindahan
pemandangan Ngarai Sianok. Di dalam Taman Panorama juga terdapat gua
bekas persembunyian tentara
Jepang sewaktu
Perang Dunia II yang disebut dengan
Lubang Japang. Untuk mengunjungi nagari
Koto Gadang
di bawah ngarai, wisatawan bisa melalui Janjang Koto Gadang. Jenjang
yang memiliki panjang sekitar 1 km ini, memiliki desain seperti
Tembok Besar China.
[36]
Di Taman Bundo Kanduang terdapat replika
Rumah Gadang yang berfungsi sebagai
museum kebudayaan
Minangkabau.
Kebun Binatang Bukittinggi dan Benteng
Fort de Kock, dihubungkan oleh jembatan penyeberangan yang disebut
Jembatan Limpapeh. Jembatan penyeberangan Limpapeh berada di atas Jalan A. Yani yang merupakan jalan utama di Kota Bukittinggi.
Pasar Ateh (Pasar Atas) berada berdekatan dengan
Jam Gadang yang merupakan pusat keramaian kota. Di Pasar Ateh terdapat banyak penjual kerajinan tangan dan bordir,
[37] serta makanan kecil oleh-oleh khas Sumatera Barat, seperti
keripik sanjai
(keripik singkong ala daerah Sanjai di Bukittinggi) yang terbuat dari
singkong, karupuak jangek yang dibuat dari bahan kulit sapi atau kerbau,
dan karak kaliang, sejenis makanan kecil khas Bukittinggi yang
berbentuk seperti angka 8.